Tata Cara Sujud Sahwi
TATA CARA SUJUD SAHWI
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Sujud sahwi adalah suatu istilah untuk dua sujud yang dikerjakan oleh orang yang shalat, fungsinya untuk menambah celah-celah yang kurang dalam shalatnya karena lupa.
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang harus mengerjakan sujud sahwi ada tiga macam : penambahan, pengurangan dan ragu-ragu
1. Penambahan
Apabila seorang yang shalat menambah shalatnya, baik menambah berdiri, duduk, rukuk atau sujud secara sengaja, maka shalatnya batal (tidak sah). Jika dia melakukannya karena lupa dan dia tidak ingat bahwa dia telah menambah shalatnya hingga selesai shalat, maka dia tidak terkena beban apa pun kecuali hanya mengerjakan sujud sahwi, sedangkan shalatnya tetap sah. Tetapi jika dia telah menyadari adanya tambahan tersebut di saat dia masih mengerjakan shalat, maka dia wajib kembali kepada posisi yang benar, lalu mengerjakan sujud sahwi, dan shalatnya tetap sah.
Sebagai contoh
Ada seseorang telah mengerjakan shalat dzuhur 5 (lima) rakaat, tetapi dia baru mengingatnya kembali setelah posisi tasyahud (akhir), maka dia harus menyempurnakan tasyahudnya (terlebih dahulu), lalu salam, kemudian baru sujud sahwi dan salam lagi.
Jika dia baru mengingatnya kembali setelah salam, maka dia harus segera mengerjakan sujud sahwi dan salam lagi. Tetapi jika dia mengingatnya di saat masih mengerjakan rakaat yang ke lima, maka dia harus segera duduk pada saat itu juga, lalu bertasyahud dan salam, kemudian sujud sahwi dan salam lagi.
Dalilnya ada hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu[1]
أَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الضُّهْرَ خَمْسًا، فَقِيْلَ لَهُ : أَزِيْدَ فِي الصَّلاَةِ؟ فَقَالَ (وَمَا ذَاكَ؟) قَالُوْا : صَلَيْتَ خَمسًا، فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ بَعْدَمَا سَلَّمَ. وَفِي رِوَايَةٍ : فَثَنَى رِجْلَيْهِ وَاسْتَقْبَلَ القِبْلَةَ فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَز (رواه الجماعة)
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dzuhur 5 (lima) rakaat. Maka ada yang bertanya kepada beliau : “Apakah shalat sengaja ditambah? Beliau menjawab : “Memangnya apa yang terjadi?” Kemudian mereka (para sahabat) menjawab: “Anda telah mengerjakan shalat (dzuhur) lima rakaat. “Maka beliau langsung sujud dua kali kemudian salam”
Dalam riwayat lain disebutkan : “Maka beliau langsung melipat kedua kakinya dan menghadap kiblat, kemudian sujud dua kali dan salam” [HR Al-Jama’ah][2]
Salam Sebelum Sempurna Shalat
Salam sebelum sempurna (selesai) shalat, juga termasuk penambahan dalam shalat[3]. Oleh karena itu, apabila seorang yang shalat dengan sengaja salam sebelum selesai shalat, maka shalatnya batal.
Jika dia mengerjakannya karena lupa dan dia baru mengingatnya kembali setelah rentang waktu yang lama, maka dia harus mengulangi shalatnya.
Tetapi jika dia telah mengingatnya kembali hanya dalam rentang waktu beberapa saat saja, seperti dua atau tiga menit, maka dia hanya perlu menyempurnakan shalatnya saja dan salam, kemudian baru sujud sahwi dan salam lagi.
Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِمُ الظُّهْرَ أَوِ الْعَصْرَ فَسَلَّمَ مِنْ رَكْعَتَيْنِ، فَخَرَجَ السُّرْ عَانِ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسجِدِ يَقُوْلُوْنَ :قُصِرَتِ الصَّلاَةُ،وَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى خَشَبَة فِي الْمَسْجِدِ فَاتَّكَاَّ عَلَيْهَا كَأَنَّسهُ غَضْبَانٌ، فَقَاْمَ رَجُلٌ فَقَالَ : يَارَسُوْلَ اللَّهِ، أَنَسِيْتَ أَم قُصِِرَتِ الصَّلاَةُ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (لَمْ أَنْسَ وَلَمْ تُقْصَرُ) فَقَالَ الرَّجُلُ : بَلَى قَدْ نَسِيْتَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلصَّحَا بَةِ : (أَحَقُّ مَايَقُوْلُ؟) قَالُوْا : نَعَمْ، فَتَقَدَّمَ النَّبِيْيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى مَابَقِيَ مِنْ صَلاَ تِهِ ثُمَّ سَلَّمَ، ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَ تَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ. متفق عليه
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat zhuhur atau ashar bersama para sahabatnya. Tetapi baru dua rakaat, beliau telah salam. Maka orang-orangpun bergegas keluar dari pintu-pintu masjid seraya mengatakan : “Shalat telah diqashar (diringkas)”. Sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan berjalan mendekati sebatang kayu yang berada di dalam masjid, lalu beliau menyandarkan diri kepadanya seakan-akan beliau sedang marah. (Melihat hal itu), maka ada seorang laki-laki lalu berdiri seraya mengatakan : Wahai Rasulullah, apakah engkau lupa atau memang sengaja mengqashar shalat? Beliau menjawab: “Aku tidak lupa dan tidak pula berniat mengqasharnya”. Laki-laki tadi menegaskan : “Benar, sungguh Anda telah lupa”. Kemudian beliau menanyakan hal itu kepada para sahabatnya yang lain: “Benarkah apa yang dikatakannya?” Mereka menjawab : benar. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian maju ke depan, lalu beliau menyempurnakan rakaat shalat yang belum dikerjakannya kemudian salam. Selanjutnya beliau sujud dua kali kemudian salam lagi” [Mutafaqun Alaihi][4]
Apabila seorang imam telah salam sebelum sempurna shalatnya, sedangkan di antara para makmum ada orang-orang yang masbuk (belum mengerjakan beberara raka’at shalatnya), maka mereka harus bangkit untuk menyempurnakan shalatnya yang tertinggal tadi. Namun bila kemudian imam tersebut ingat kembali bahwa shalatnya kurang lengkap, lalu dia bangkit untuk menyempurnakan shalatnya, dalam kondisi seperti ini, maka bagi para makmum yang telah menyempurnakan shalatnya yang tertinggal tadi diberikan dua pilihan. Dia boleh berasumsi bahwa mereka telah menyempurnakan shalatnya, lalu hanya mengerjakan sujud sahwi atau mereka kembali bersama imam dan mengikutinya lagi. (Jika pilihan kedua ini yang mereka pilih), maka bila imam telah salam lagi, mereka harus kembali lagi menyempurnakan shalatnya yang tertinggal tadi, kemudian setelah salam baru mengerjakan sujud sahwi. Hal ini lebih utama dan lebih berhati-hati
2. Pengurangan
Pengurangan dalam mengerjakan shalat ada beberapa macam, di antaranya adalah sebagai berikut:
A. Kekurangan Rukun-Rukun Dalam Shalat
Apabila seorang yang shalat mengurangi (tidak mengerjakan) salah satu rukun shalat, jika yang kurang tadi adalah takbiratul ihram, maka tidak ada shalat baginya, baik ketika dia meninggalkannya karena sengaja maupun karena lupa, sebab shalatnya belum dianggap dimulai.
Jika yang kurang tadi bukan takbiratul ihram, dia sengaja meninggalkannya, maka shalatnya batal.
Tetapi jika dia meninggalkannya karena lupa, bila dia telah sampai pada rakaat kedua maka dia harus membiarkan rukun shalat yang tertinggal tadi dan mengerjakan rakaat berikutnya sebagaimana posisinya. Tetapi jika dia belum sampai pada rakaat kedua, maka dia wajib mengulangi kembali rukun shalat yang tertinggal tadi, kemudian menyempurnakannya dan rukun-rukun setelahnya. Dalam kedua kondisi ini, maka dia wajib mengerjakan sujud sahwi setelah salam.
Sebagai contoh.
Misalnya seorang lupa tidak mengerjakan sujud kedua pada rakaat pertama, kemudian dia baru mengingatnya pada saat dia sedang duduk di antara dua sujud pada rakaat kedua, maka dia harus membiarkan rakaat pertama yang telah dikerjakannya tadi lalu melanjutkan rakaat kedua sebagaimana mestinya. Sedangkan rakaat yang telah dia kerjakan tadi, telah dianggap sebagai rakaat pertama dan dia tinggal menyempurnakan shalatnya. Setelah itu salam, dilanjutkan sujud sahwi dan salam lagi.
Kasus lain.
Misalnya seseorang lupa tidak mengerjakan sujud kedua dan duduk sebelum sujud pada rakaat pertama, kemudian dia baru mengingatnya kembali setelah berdiri dari rukuk (I’tidal) pada rakaat kedua, maka dia harus kembali duduk dan sujud, kemudian baru menyempurnakan shalatnya dan salam. Kemudian sujud sahwi dan salam lagi.
B. Adanya Kekurangan Dalam Hal-Hal Yang Diwajibkan Dalam Shalat
Apabila seorang yang shalat dengan sengaja tidak mengerjakan salah satu dari hal-hal yang diwajibkan dalam shalat, maka shalatnya batal.
Jika dia mengerjakannya karena kelupaan, kemudian dia baru mengingatnya kembali sebelum mengerjakan kewajiban kewajiban shalat yang lainnya, maka dia harus menyempurnakan kewajiban yang kelupaan tadi dan dia tidak terkena beban apapun.
Jika dia baru mengingatnya kembali setelah tidak pada posisinya tetapi belum sampai pada rukun shalat berikutnya, maka dia harus kembali dan mengerjakan kewajiban shalat yang terlupakan tadi, kemudian baru menyempurnakan shalatnya dan salam. Setelah itu hendaknya dia bersujud sahwi dan salam lagi.
Tetapi jika dia baru mengingatnya setelah sampai pada rukun shalat berikutnya, maka gugurlah dan dia tidak boleh kembali untuk mengerjakan rakaat yang terlupakan tadi, kemudian dia diharuskan melanjutkan shalatnya dan mengerjakan sujud sahwi sebelum salam.
Sebagai contoh
Misalnya seseorang langsung bangkit dari sujud kedua pada rakaat kedua untuk mengerjakan rakaat ketiga karena lupa (tidak ingat) tasyahud awal, tetapi kemudian dia mengingatnya sebelum berdiri, maka dia harus tetap duduk dan mengerjakan tasyahud awal, kemudian menyempurnakan shalatnya dan dia tidak terkena beban apapun.
Jika dia baru mengingatnya kembali setelah bangkit, tetapi belum sampai berdiri dengan sempurna, maka dia harus kembali, lalu duduk dan mengerjakan tasyahud, kemudian menyempurnakan shalatnya dan salam. Kemudian sujud sahwi dan salam lagi.
Tetapi jika dia baru mengingatnya kembali setelah berdiri dengan sempurna, maka gugurlah kewajiban baginya untuk mengerjakan tasyahud yang terlupakan tadi dan dia tidak boleh kembali untuk mengerjakan tasyahud tersebut. Selanjutnya dia hanya tinggal menyempurnakan shalatnya dan mengerjakan sujud sahwi sebelum salam.
Dalilnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan lain-lainnya[5] dari Abdullah bin Buhainah Radhiyallahu a’nhu.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِمُ الظُّهْرَ فَقَامَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الأُو لَيَيْنِ وَلَم يَجْلِسْ (للِتَّشَهُدِ اْللأَوَّل) فَقَامَ النَّاسَ مَعَهُ حَتَّى إِذَا قَضَى الصَلاَةَ وَانْتَظَرَ النَّاسُ تَسْلِيمَهُ كَبَّرَ وَهُوَ جَالِسُ فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ ثُمَّ سَلَّمَ
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat zhuhur bersama para sahabat, kemudian beliau langsung berdiri pada rakaat kedua yang pertama dan beliau tidak duduk (yakni tasyahud awal), maka orang-orang pun juga ikut berdiri bersama beliau hingga shalat usai. Kemudian semua orang menunggu-nunggu beliau salam, tetapi beliau bertakbir lagi padahal beliau sedang duduk, kemudian beliau bersujud dua kali sebelum salam, kemudian setelah itu baru beliau salam”
3. Ragu-Ragu
Asy-Syak adalah keraguan antara dua perkara, mana diantara keduanya yang benar.
Ragu-ragu yang tidak perlu dihiraukan dalam semua ibadah adalah dalam tiga kondisi.
- Apabila keraguan itu hanya berupa angan-angan belaka yang tidak nyata, seperti perasaan was-was.
- Apabila seseorang sering sekali dihinggapi perasaan ragu-ragu, sehingga setiap kali dia ingin melaksanakan suatu ibadah pasti akan ragu-ragu.
- Apabila keragu-raguan itu muncul setelah melaksanakan suatu ibadah. Maka dia tidak perlu menghiraukan perasaan ragu-ragu tersebut selama perkaranya belum jelas dan dia harus mengerjakan sesuai dengan apa yang diyakininya.
Sebagai contoh
Misalnya seseorang telah mengerjakan shalat zhuhur. Tetapi setelah selesai mengerjakan shalat dia merasa ragu-ragu, apakah dia shalat tiga rakaat atau empat rakaat. Maka dia tidak perlu menggubris perasaan ragu-ragu ini kecuali bila dia telah merasa yakin bahwa dia memang shalat tiga rakaat. Apabila dia tahu bahwa shalatnya tiga rakaat, maka dia harus menyempurnakan shalatnya jika rentang waktu (dengan shalatnya tadi) masih berdekatan, lalu salam, kemudian sujud sahwi dan salam lagi. Tetapi jika dia baru mengingatnya kembali setelah terpaut waktu yang lama, maka dia harus mengulangi kembali shalatnya.
Sedangkan merasa ragu selain dalam tiga kondisi tersebut, maka perlu dipertimbangkan (diperhatikan).
Ragu-ragu dalam shalat tidak akan terlepas dari dua kondisi dibawah ini.
1. Dia bisa menentukan salah satu yang lebih rajih (kuat/benar) di antara dua perkara, maka dia harus mengerjakan apa yang menurutnya lebih rajih tersebut, kemudian menyempurnakan shalatnya dan salam, kemudian sujud sahwi dan salam lagi.
Sebagai contoh
Misalnya seseorang sedang mengerjakan shalat zhuhur, kemudian dia merasa ragu-ragu dalam salah satu rakaatnya, apakah ia berada di rakaat kedua atau ketiga. Jika perkiraannya lebih condong bahwa itu rakaat ketiga, maka dia harus menganggapnya sebagai rakaat ketiga dan setelah itu dia tinggal menambah satu rakaat lagi dan salam, kemudian sujud sahwi dan salam lagi.
Dalilnya adalah sebuah hadits yang disebutkan dalam Ash-Shahahain dan yang lain, dari hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِذَا ثَكَّ أَحَدُكُمْ قِي صَلاَتِهِ فَلْيَتَحَرَّ الصَّوَابَ فَلْيُتِمَّ عَلَيْهِ، ثُمَّ لِيُسَلِّمْ، ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ هذا لَفظ البخاري
“Apabila salah seorang di antara kalian merasa ragu dalam shalatnya, maka hendaklah dia menentukan sendiri yang menurutnya benar, lalu menyempurnakan dengan pilihannya tadi dan salam, kemudian sujud dua kali” [Ini adalah lafazh Al-Bukhari][6]
2. Dia tidak bisa menentukan salah satu yang lebih rajih di antara dua perkara tersebut, maka minimal dia mengerjakan sesuai dengan apa yang diyakininya. Kemudian menyempurnakan shalatnya sesuai dengan yang diyakininya tadi, lalu sebelum salam sujud sahwi, kemudian baru salam.
Sebagai contoh.
Misalnya seseorang sedang mengerjakan shalat Ashar, kemudian dia merasa ragu dalam salah satu rakaat, apakah itu rakaat kedua atau ketiga dan dia tidak memiliki perkiraan yang paling mungkin, rakaat kedua atau ketiga. Maka dia harus menganggapnya sebagai rakaat kedua, kemudian mengerjakan tasyahud awal, dan setelah itu dia tinggal mengerjakan dua rakaat lagi, kemudian sujud sahwi dan salam.
Dalilnya adalah sebuah hadits yangb diriwayatkan oleh Muslim[7] dari Abu Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda.
إِذَا ثَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلاَتِهِ فَلَمِ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أََرْبَعًا؟فَلْيَطْرَحِ الشَّكَ وَلْيَبْنِ عَلَى مَااسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ، فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًاشَفَعْنَ لَهُ صَلاَتُهُ، وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًالأَِرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيْمًا لِلشَّيْطَانِ
“Apabila salah seorang di antara kalian merasa ragu dalam shalatnya dan dia tidak tahu berapa rakaat dia shalat, tiga atau empat rakaat, maka hendaknya dia membuang keraguan tersebut dan hendaknya dia mengerjakan sesuai dengan apa yang diyakininya, kemudian sujud dua kali sebelum salam. Jika dia ternyata shalat lima rakaat, maka shalatnya tersebut akan menjadi syafaat baginya, sedangkan jika ternyata dia shalat tepat empat rakaat, maka kedua sujudnya bisa membuat marah syetan”.
Sebagai contoh.
Apabila seseorang datang, sedangkan imam baru mengerjakan rukuk, maka dia harus segera mengerjakan takbiratul ihram dan bediri dengan sempurna, kemudian baru rukuk. Pad saat seperti itu, maka dia tidak akan terlepas dari tiga kondisi.
- Dia benar-benar merasa yakin bahwa dia telah mendapatkan rukuk bersama imam sebelum imam tersebut bangkit dari rukuknya, sehingga dia dikategorikan telah mendapat satu rakaat dan gugur kewajiban membaca surat al-fatihah.
- Dia benar-benar merasa yakin bahwa imam tersebut telah bangkit dari rukuknya sebelum dia mendapatkannya, sehingga dia dikategorikan tidak mendapatkan rakaat tersebut
- Dia merasa ragu-ragu, apakah dia telah mendapatkan rukuk bersama imam sehingga dia dikategorikan telah mendapatkan satu rakaat atau imam tersebut telah bangkit dari rukuknya sebelum dia menjumpainya, sehingga dia dikategorikan tidak mendapatkan satu rakaat. Jika dia bisa menentukan mana yang lebih rajih antara dua perkara tersebut, maka dia harus mengerjakan sesuai dengan apa yang menurutnya lebih rajah tadi, lalu menyempurnakan shalatnya dan salam, kemudian sujud sahwi dan salam lagi. Kecuali jika dia tidak meninggalkan salah satu dari hal-hal yang diwajibkan dalam shalat, maka dia tidak perlu mengerjakan sujud sahwi.
Jika dia tidak bisa menentukan mana yang lebih rajah antara kedua perkara tersebut, maka dia harus mengerjakan sesuai dengan apa yang diyakininya (yakni dia tidak mendapatkan rakaat tersebut), lalu dia harus menyempurnakan shalatnya dan sujud sahwi sebelum salam, kemudian baru salam.
Faedah
Apabila seseorang merasa ragu-ragu dalam shalatnya, maka dia harus mengerjakan sesuai dengan apa yang diyakininya atau yang menurutnya lebih rajih sebagaimana yang telah dijelaskan secara mendetail di atas. Namun bila akhirnya dia yakin bahwa apa yang dikerjakannya itu ternyata sesuai dengan kenyataan, tidak menambah ataupun mengurangi, maka menurut pendapat madzhab yang popular dia telah gugur kewajiban (tidak perlu lagi) mengerjakan sujud sahwi karena factor yang mengharuskan dia harus mengerjakan sujud sahwi yaitu keragu-raguan sudah tidak ada lagi.
Tetapi ada pula yang berpendapat bahwa dia belum gugur mengerjakan sujud sahwi untuk membuat syetan marah, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًالأَِرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيْمًا لِلشَّيْطَانِ
“.. Sedangkan jika ternyata shalatnya tepat empat rakaat, maka kedua sujud tersebut membuat marah syetan”[8]
Disamping itu, karena ada sebagian dari shalatnya yang dikerjakan dengan perasaan ragu-ragu. Inilah pendapat yang lebih rajih (kuat).
Sebagai contoh.
Misalnya seseorang sedang mengerjakan shalat, kemudian timbullah keraguan dalam salah satu rakaatnya, apakah ia dalam rakaat kedua atau ketiga? Karena dia tidak bisa menentukan mana yang lebih rajih antara kedua perkara tersebut, maka dia menganggapnya sebagai rakaat yang kedua, lalu dia menyempurnakan shalatnya. Namun akhirnya jelaslah baginya bahwa itu memang benar-benar rakaat kedua, maka menurut pendapat madzhab yang popular, dia tidak wajib sujud sahwi, sedangkan menurut pendapat kedua yang menurut kami lebih rajih hendaknya dia mengerjakan sujud sahwi sebelum salam.
SUJUD SAHWI BAGI MAKMUM
Apabila seorang imam lupa, maka makmum wajib mengikutinya untuk mengerjakan sujud sahwi, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلاَ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ،…… وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا
“Sesungguhnya, dijadikannya imam itu fungsinya untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya” … sampai sabda beliau …” Dan bila dia bersujud, maka sujudlah” [HR Muttafaq ‘Alaih, dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu][9]
Jadi, makmum wajib megikuti imam, baik imam tersebut mengerjakan sujud sahwinya sebelum maupun sesudah salam, kecuali bila dia masbuq yakni dia belum mengerjakan beberapa rukun shalat yang lain, maka dia tidak boleh mengikuti imam mengerjakan sujud sahwi karena ada udzur tersebut. Sebab seseorang yang shalatnya masbuq tidak mungkin akan salam bersama-sama dengan imamnya. Oleh karena itu, dia diharuskan menyempurnakan shalatnya yang tertinggal tadi terlebih dahulu, lalu salam. Kemudian baru mengerjakan sujud sahwi dan salam lagi.
Contoh kasusnya.
Misalnya seseorang ikut shalat bersama imam pada rakaat terakhir, kemudian imam tersebut sujud sahwi setelah salam, orang yang shalatnya masbuq itu harus bangkit untuk menyempurnakan shalatnya dan dia tidak boleh ikut mengerjakan sujud sahwi bersama imam. Tetapi bila dia sendiri telah menyempurnakan shalatnya dan salam, maka setelah salam dia harus mengerjakan sujud sahwi.
Sedangkan apabila yang lupa itu hanya makmum saja sedangkan imamnya tidak, bila dia belum kehilangan salah satu dari dua rukun-rukun shalat, maka dia tidak perlu mengerjakan sujud sahwi, karena sujud sahwinya itu akan menyebabkan dia menyelisihi dan tidak mengikuti imam. Di samping itu, karena para sahabat Radhiyallahu anhum juga tidak mengerjakan tasyahud awal ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kelupaan tidak mengerjakannya. Mereka malah berdiri bersama beliau dan tidak duduk untuk mengerjakan tasyahud awal sendiri-sendiri, untuk menjaga agar mereka selalu mengikuti dan tidak menyelisihi beliau.
Tetapi jika dia belum mengerjakan salah satu dari rukun-rukun shalat, kemudian dia dan imamnya juga kelupaan atau setelah menyempurnakannya dia sendiri juga kelupaan, maka dia belum gugur kewajibannya untuk mengerjakan sujud sahwi. Oleh karena itu setelah dia menyempurnakan shalatnya, dia harus mengerjakan sujud sahwi baik sebelum maupun sesudah salam, sebagaimana yang telah dijelaskan secara mendetail diatas.
Sebagai contoh.
Misalanya seorang makmum lupa tidak membaca do’a dalam rukuk (Subhana rabbiyal Adzim), tetapi dia tidak kehilangan salah satu dari rukun-rukun shalat (bersama imam), maka tidak wajib mengerjakan sujud sahwi. Sedangkan jika dia belum mengerjakan satu rakaat atau lebih, maka dia harus menyempurnakannya dahulu, kemudian sebelum salam dia harus mengerjakan sujud sahwi,
Contoh kasus lainnya.
Misalnya seorang makmum sedang mengerjakan shalat zhuhur bersama imam. Ketika imam bangkit untuk mengerjakan rakaat keempat, dia tetap duduk karena meyakini (mengira) bahwa itu adalah rakaat terakhir. Jika dia tidak kehilangan salah satu dari rukun-rukun shalat, maka dia tidak wajib mengerjakan sujud sahwi, tetapi jika dia terlambat satu rakaat atau lebih, maka dia harus menyempurnakan shalatnya dahulu, lalu salam, kemudian baru mengerjakan sujud sahwi dan salam lagi. Sebenarnya tujuan dia diharuskan mengerjakan sujud sahwi ini karena dia telah menambah duduk (dalam shalat) ketika imam telah berdiri untuk mengerjakan rakaat yang keempat.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa sujud sahwi kadangkala dikerjakan sebelum maupun sesudah salam.
Sujud sahwi sebelum salam, dikerjakan dalam dua tempat.
1. Apabila ada kekurangan dalam shalat, berdasarkan hadits Abdullah bin Buhainah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakan sujud sahwi sebelum salam ketika beliau tidak mengerjakan tasyahud awal. Lalu hadits ini telah disebutkan di depan.
2. Apabila seseorang ragu-ragu (dalam shalatnya) dan dia tidak bisa menentukan mana yang lebih rajih di antara dua perkara tersebut, berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudry Radhiyallahu anhu tentang seseorang yang ragu dalam shalatnya dan dia tidak tahu berapa rakaat dia telah shalat? Dua rakaat atau tiga rakaat? Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menginstruksikan kepadanya supaya dia bersujud dua kali sebelum salam (sujud sahwi). Dan lafazh hadits ini juga telah disebutkan di depan.
Sedangkan sujud sahwi setelah salam, juga dikerjakan dalam dua keadaan:
1. Apabila ada penambahan dalam shalat, berdasarkan hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat zhuhur lima rakaat, kemudian para sahabat mengingatkan beliau setelah salam, lalu beliau bersujud dua kali kemudian salam. Hadits ini tidak menjelaskan bahwa beliau mengerjakan sujud sahwi setelah salam itu karena beliau tidak tahu bahwa beliau telah menambah rakaat kecuali setelah salam. Oleh karena itu kita harus menggunakan hadits ini berdasarkan keumuman hukumnya, yaitu bahwa sujud sahwi yang disebabkan karena adanya penambahan itu dikerjakan setelah salam, baik apakah dia mengetahuinya sebelum maupun sesudah salam.
Contoh lain.
Misalnya seseorang yang lupa, dia salam padahal shalatnya belum selesai, kemudian dia mengingatnya kembali, lalu dia menyempurnakan shalatnya. Karena dia telah menambah salam ketika dia sedang mengerjakan shalatnya, maka dia harus mengerjakan sujud sahwi setelah salam, berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baru saja mengerjakan dua rakaat shalat zhuhur atau ashar, tetapi beliau sudah salam. Kemudian para sahabat mengingatkannya, lalu beliau menyempurnakan shalatnya dan salam, lalu beliau sujud sahwi dan salam lagi, lafazh hadits ini sudah disebutkan diatas.
2. Apabila seseorang merasa ragu-ragu (dalam shalatnya), tetapi kemudian dia bisa menentukan mana yang lebih rajih di antara dua perkara tersebut. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menginstruksikan kepada orang yang merasa ragu-ragu dalam shalatnya supaya dia menentukan sendiri yang menurutnya benar, lalu menyempurnakannya dengan pilihannya tadi. Kemudian salam dan sujud sahwi. Dan lafazh haditsnya telah disebutkan di depan.
Tetapi jika dia merasa ragu dalam kedua keadaan secara bersamaan, yakni dia merasa bahwa keraguan pertama mengharuskan dia sujud sahwi sebelum salam, sedangkan yang kedua setelah salam, maka para ulama mengatakan : Dia harus lebih mengutamakan sebelum salam, sehingga sebelum salam dia harus mengerjakan sujud sahwi dahulu.
Contoh kasusnya adalah
Misalnya seseorang sedang mengerjakan shalat zhuhur, kemudian dia langsung berdiri untuk mengerjakan rakaat ketiga padahal dia belum mengerjakan tasyahud awal, lalu ketika rakaat ketiga dia malah duduk untuk mengerjakan tasyahud awal karena menyangka bahwa rakaat tersebut adalah rakaat kedua. Tetapi kemudian dia ingat bahwa rakaat ketiga, maka dia harus berdiri dan mengerjakan satu rakaat lagi, lalu mengerjakan sujud sashwi dan baru salam.
Karena orang ini tidak mengerjakan tasyahud awal, maka seharusnya dia mengerjakan sujud sahwi sebelum salam. Tetapi disamping itu pula dia juga menambah duduk pada rakaat ketiga, maka seharusnya dia juga mengerjakan sujud sahwi setelah salam. Oleh karena itu (menurut para ulama) dia harus lebih mengutamakan mengerjakan sujud sahwi sebelum salam.
Wallahu A’lam
Saya memohon kepada Allah, semoga Dia memberikan petunjuk kepada kita dan saudara-saudara kita sesama muslim supaya dapat memahami kitab dan sunnah Rasul-Nya, mengamalkan keduanya baik secara zhahir maupun batin, baik dalam masalah akidah, ibadah maupun mu’amalah dan menetapkan kesudahan yang baik bagi kita semua. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Semoga Allah Ta’ala melimpahkan shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Risalah ini telah selesai ditulis seorang hamba yang fakir yang selalu mengharap kepada Allah Ta’ala ampunan dan rahmat-Nya, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, pada tanggal 3/4/1400H
[Disalin dari buku Tata Cara Sujud Sahwi, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerjemah Mutsanna Abdul Qohhar, Penerbit Pustaka At-Tibyan. Jl. Kyai Mojo 58, Solo, 57117]
________
Footnote
[1] HR Mutafaqun Alaih. Al-Bukhari meriwayatkannya dalam (kitab) As-Shalah, bab : maa ja’a fie al-qiblah, (404) yang redaksionalnya sangat pendek, dan pada hadits (401) redaksionalnya sangat panjang, dalam (kitab) As-Sahwi (1227) dan juga dalam pembahasan-pembahasan lainnya. Sedangkan imam Muslim meriwayatkannya dalam kitab Al-Masajid, bab : As-Sahwi fie Ash-Shalah (91) dan (572).
[2] Para perawi al-Jama’ah lainnya : Abu Dawud meriwayatkannya dalam (kitab) Ash-Shalah, bab : Idza shalla khamsan, (2019) dan (1020), At-Tirmidzi meriwayatkannya dalam bab : maa ja’a fie sajdatai as-sahwi ba’da as-salam wa al-kalam (392). An-Nasaa-i meriwayatkannya dalam ; As-Sahwi, bab : At-Taharry (III/33), (1242) dan 1243), dan Ibnu Majah dalam Iqamah ash-Shalah, bab : ma ja’a fiiman syakka fie shalatihi (1211).
[3] Hal ini juga dikategorikan menambah dalam shalat karena ia telah menambah salam pada saat dia masih mengerjakan shalat.
[4] Al-Bukhari meriwayatkannya dalam : Ash-Shalah, bab : Tasybik al-Ashabi’ fie al-Masjid wa Ghairihi, (482) redaksionalnya sangat pendek, (714) dan (715) dalam : As-Sahwi (1226) dan dalam pembahasan-pembahasan lainnya. Sedangkan imam Muslim meriwayatkannya dalam Al-Masajid, bab : As-Sahwu fie ash-Shalat (97) dan (573).
[5] HR Al-Bukhari : Al-Adzan bab : man lam yara at-Tasyahud wajiban..(829), dalam : As-Sahwi (1223,1225) dan dalam pembahasan-pembahasan lainnya. Sedangkan imam Muslim meriwayatkannya dalam Al-Masajid, bab : As-Sahwu fii ash-Shalah (85) dan (570)
[6] HR Al-Bukhari dalam : Ash-Shalah, bab : At-Tawajjuh Nahwa Al-Qiblah (401) dan Muslim dalam Al-Masajid, bab : As-Sahwu fie ash-Shalah (89) dan (572)
[7] HR Muslim dalam :Al-Masajid, bab As-Sahwu fie ash-Shalah, (88) dan (571).
[8] Dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri, sudah ditakhrij di depan
[9] HR Al-Bukhari dalam : Al-Jum’at, bab : Innama ju’ila al-imam liutammima bihi (657), Muslim dalam Ash-Shalah, bab : I’timamu al-Makmum bil Imam, (412) ditambahkan dalam riwayat Abu Dawud dalam : Ash-Shalah, bab : Al-Imam Yushally min Qu’udin (604) :”Dan apabila dia membaca, maka dengarkanlah dengan tenang”, An-Nasa’i dalam : Al-Iftitah (920), Ibnu Majjah (846) dan Imam Ahmad (II/420)
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2217-tata-cara-sujud-sahwi.html